Cara Mengembangkan Ide Cerita Dalam Karya Fiksi
Wednesday, 22 May 2013
0
komentar

Pertanyaan, “Apa yang membuat anda bertahan menyelesaikan membaca sebuah
karya fiksi?”. Pasti akan ditemukan beragam jawaban, sesuai dengan apa
yang dicari pembaca atas tulisan tersebut. Sekarang kita bedakan,
contoh yang saya buat di atas bukan karya fiksi. Sehingga orang tidak
perlu repot-repot “pakai perasaan”, mereka hanya menginginkan
pengetahuan dari buku itu. Nah, kalau fiksi lain lagi ceritanya. Saat
membaca fiksi orang tidak sekadar mencari informasi dari cerita saja,
tapi juga keindahan penyajian cerita itu(jangan lupa bahwa semua orang
bisa menulis fiksi), dan banyak pilihan bacaan fiksi membuatnya
menjadi lebih selektif. Secara umum orang menilai fiksi dari ceritanya,
apakah menarik, menginspirasi atau unik. Tapi, secara keseluruhan
fiksi bukan hanya tentang cerita, tapi tentang keterampilan menyajikan cerita, semisal: tata bahasa, gaya bahasa, alur, pemilihan diksi, dll.
Bagi saya, hal-hal menyangkut keterampilan menulis adalah sesuatu yang
serius. Saya tidak jarang melewatkan membaca sebuah karya fiksi yang
gagal menarik perhatian sejak awal-awal kalimat, kecuali memang saya
ingin mengoreksinya. Jadi, beberapa hal ini akan membatalkan niat
membaca saya:
Bahasa yang rumit.
Sepulang dari taman jiwanya, Ratna memeluk puing-puing kesedihan yang
mengerontang di bilik hatinya. Anaknya serupa penantian yang tak
berujung di sebalik danau putik bunga. Kalaupun orang tua di seberang
jalan menjajakan potongan iba, tak ada dampak untuknya. Raganya telah
tertelan gelap malam. Dst.
Pernahkah anda membaca fiksi seperti ini? Sering. (Keren ya?
Sebenarnya saya suka) Karena saya tak mudah menangkap maksudnya, maka
saya lewatkan saja kalimat itu. Langsung ke paragraf selanjutnya.
Parahnya, ada sebuah karya yang bahasanya seperti itu sampai ke akhir
cerita. Boleh anda mengeksplorasi bahasa demi penyampaian cerita yang menurut anda sangat intim. Tapi, apa anda tak peduli dengan pembaca yang kebingungan?. Fiksi tak selalu harus di puitis-puitiskan.
Adalah teman saya penulis cerpen itu. Penasaran saya tanya padanya, apa
maksudnya? Dia hanya tersenyum. Saya juga tersenyum. Senyuman itu
adalah jawaban yang jelas. Kamu sangat berbakat sebagai penyair, kata saya, menanggapi bahasa senyum-nya.
Bedakanlah antara cerpen dan puisi. Puisi berisi barisan-barisan kata
yang bermakna, jelas tak sepanjang cerpen. Jadi, dibutuhkan pemilihan
kata yang pas dan (kalau perlu) sangat khusus supaya pesan yang
diinginkan mengena (bukan hanya sebagai teks tapi juga sebagai wakil
perasaan yang dalam) maka tak masalah jika kadang bahasanya agak rumit.
Cerpen tidak begitu, ceritalah yang lebih diutamakan, dengan rentang
tulisan yang cukup. Maka, tak perlu pelit-pelit berdeskripsi, :).
Bandingkan dengan novel, tentu lebih luas lagi eksplorasi
deskriptifnya.
Sepulang dari taman di samping danau itu, Ratna disengat kesedihan dari
masa lalunya yang masih setia mengisi benak. Anaknya pernah hilang di
sana. Memang, lelaki di seberang jalan itu selalu mencoba menghiburnya.
Katanya, akan mencoba mencari anaknya yang hilang. Ratna hanya bisa
tersenyum datar. Bagaimana mungkin anaknya kembali: ia sering bermimpi
anaknya ditelan kegelapan. (Misalkan begitu)
*Bukankah menjadi agak jelas ya? Jadi pembaca bukan membaca karena
penasaran dengan bahasa nyastra anda (padahal nggak tahu maksudnya
apa). Tapi, tertarik pada cerita dan bahasa penceritaan yang mudah
dipahami.
Bagaimana pembaca akan mendapatkan pesan tulisan anda, jika ceritanya
pun sulit dimengerti dikarenakan pemilihan bahasa yang asal-tembak?
(atau yang lebih parah… tersiksa karena ingin membacanya, hehe.
lebay.com)
Cerita yang tidak logis.
Ini adalah kekeliruan yang sering terjadi, masalahnya hanya satu: penulis tidak menyunting karyanya sebelum ia bagi ke pembaca
Ada kesalahpahaman perihal kelogisan ini. Yang saya maksud kelogisan di
sini adalah alur cerita. Bukan tema cerita. Jadi, membuat fiksi
tentang lelaki yang bisa mencopot kepalanya untuk ia ganti dengan
kepala orang lain, bukan tak logis. Berarti memang genrenya seperti
itu.
Kalau misalnya, lelaki itu bosan dengan kepalanya sendiri lalu mencari
kepala orang yang lebih rupawan. Tapi, setelah mengganti kepalanya
tersebut, lelaki ini diserang berbagai macam masalah lain. Ia tersiksa
dan mati oleh ketakutan yang dibawa kepala barunya ini. Begitu saja! Ini baru tak logis.
Kan tidak dijelaskan prosesnya atau syarat-syarat cara mengganti
kepala? Logikanya, ya cari saja kepala baru? Bagi pembaca, ketakutan
itu tak beralasan. Inilah yang saya bilang, “tak logis”.
Ada pula, perihal deskripsi tentang tokoh yang tak relevan dengan
cerita itu sendiri. Memang, paling mudah untuk menjelaskan
watak-obsesif tokoh adalah menjelaskan secara langsung. “Ayahnya adalah
pria yang sabar” atau “Roni sangat mencintai kekasihnya”. Tapi, kadang
tak sesuai dengan cerita. Jika di cerita itu ada peristiwa Sang Ayah
meneriaki pembantu yang telat membuat kopi, tentu saja ia bukan
penyabar. Kalau menjemput pacarnya saja Roni banyak alasan, apa itu
namanaya “sangat mencintai”.
Dalam dialog pun, harus berhati-hati. Jangan sampai-karena ingin
berpuitis-seorang anak TK bisa mengucapkan bahasa setingkat sastrawan
besar, atau mengucapkan kata yang tak wajar diketahuinya, seperti:
transparan, sanguinis, diputarbalikkan, berpeluh oleh rindu, dll.
Kecuali, jika anda mampu menjelaskan latar belakang anak itu dengan
baik, sehingga menjadi wajar ia paham kata-kata “dewasa” itu (itu pun
masih akan menuai ragu).
Ketidaklogisan itu membuat cerita anda menjadi cacat. Maka, sebelum
kecacatan itu terendus pembaca telitilah lagi membaca karya anda itu.
Penggunaan bahasa dan tanda baca yang tidak tepat
Saya terpikir seperti ini, apa indahnya hidup tanpa aturan (agama
misalnya)? Berantakanlah peradaban. Apa indahnya karya sastra jika tak
ada aturan berbahasa, bahkan pengajian bahasa inilah yang paling menarik
dalam sastra.
Misalkan: Penggunaan huruf kapital, peletakkan titik-koma yang tepat, atau diksi yang tepat guna.
Rasanya tak perlu menjelaskan hal ini. Tak tepat konteksnya (karena
saya membahas tentang kepekaan atau akan saya bahas di lain
kesempatan), dan pengetahuan ini bisa anda temukan di situs-situs
bahasa, banyak sekali, jika anda mau.
Pesan yang ingin disampaikan
Yang ini adalah konsekuensi dari ketiga poin di atas. Ya, saya hanya
dapat menerima pesan cerita jika ia telah memenuhi paling tidak, dua
poin pertama. (Karena kecacatan pada dua poin pertama tak jarang
membatalkan saya membaca)
(Saya membayangkan banyak hal lain yang bisa mempengaruhi penilaian pembaca. Karena memang sangat ngesok
jika ada yang mengatakan bahwa mereka bisa mengklasifikasikan perihal
“penilaian pembaca” ini dengan pas. Maka saya pilih berdasarkan
subjektivitas saya saja)
Btw, mulai sekarang, pekalah terhadap perasaan pembaca. Mereka adalah
individu yang memiliki standar penilaian. Apakah bahasa yang anda
gunakan akan menyusahkan pembaca dalam menerima maksud anda? Apakah
cerita di dalamnya cukup logis atau penyampaiannya sudah pas untuk
pembaca? Apakah bahasanya sudah benar? Terakhir, apakah bermanfaat untuk
pembaca?
Hm, saran saya, untuk yang baru menggiati fiksi, berfokuslah dulu pada
dua poin pertama. Akan sangat baik jika anda mempelajari poin ketiga,
atau kalaupun sulit, cobalah mencicil pengetahuan tentang berbahasa,
paling tidak bisa membedakan yang mana “di” sebagai preposisi dan yang
mana sebagai imbuhan. Dan poin keempat biasanya tak dipusingkan bagi
penulis, setiap penulis sadar betul apa yang ingin ia pesankan kepada
pembaca. Tugas anda hanyalah memastikan apakah pesan itu sampai setelah
mereka selesai membaca tulisan anda. Cara paling mudah, posisikan diri
anda sebagai pembaca, lalu nilai karya anda secara objektif.
Kenapa hal ini penting? Karena takdir seorang penulis fiksi-genre
apapun itu- ada di tangan pembaca. Kalau bahasanya sulit dipahami dan
logika ceritanya ngawur, tentu saja memalaskan pembaca untuk membacanya. Kalau sudah masuk perihal kebahasaan, EyD, dan kalimat Efektif,
makin rumit lagi. Apalagi jika pembaca itu adalah seorang redaktur
sastra media, karya terbaik anda akan dibantai jika tak memenuhi standar
bahasa (ya, sedikit-sedikit mungkin tak apa, redaktur media kadang
juga punya toleransi jika memang kisah anda itu menarik; oleh karena
itu, dua poin pertama di atas penting untuk dikaji)
Saya sendiri pernah dibantai habis oleh teman penulis saya. Tidak bisa
dikatakan betapa saya marah dan kesal, saya pun tak henti
menggerutuinya setelah itu. Tapi, akhirnya saya sadar, justru ialah
orang yang paling peduli dengan kualitas kepenulisan saya. Saya malah
bersyukur bisa mengenalnya.
Penulis : Berry Budiman
editor : faisal
Sumber : Kompasiana
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Cara Mengembangkan Ide Cerita Dalam Karya Fiksi
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://sastrasurgawi.blogspot.com/2013/05/cara-mengembangkan-ide-cerita-dalam.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment