Rosihan Anwar: Memilih Seni Sebagai Senjata
Thursday, 16 May 2013
0
komentar
Jadi ceritanya, saya sedang membuka situs koran-koran
lawas yang pernah terbit di tanah air, pada masa kedudukan Jepang.
Tentu saja, sebagian besar koran-koran itu dijadikan alat propaganda
oleh pihak Jepang. Namanya juga keadaan di masa perang. Segala hal yang
potensial (dijadikan senjata propaganda), pastilah akan dimanfaatkan
sebaik-baiknya.
Yang menarik adalah ketika saya membaca koran Djawa Baroe edisi 15
Januari 1944. Di koran tersebut, tepatnya di halaman 31, ada saya jumpai
sebuah puisi manis yang dituliskan oleh Bapak Rosihan Anwar. Puisi
tersebut berjudul “Djarak Beloem Bertitian.” Berikut akan saya tuliskan kembali untaian kata tersebut, tanpa edit.
Djarak Beloem Bertitian
Pabila koekenang kepoetoesan kata:
,,Djangan akoe didamping djoega
Lekaslah djaoeh berangkat pergi
Tiada kita dapat serasi
Dialamkoe engkau ,,asing” koerasa ….”
Akoe tersenjoem …. piloe mengerti ….
Tidakkah kautahoe betapa kalboe
Seorang penjair diroendoeng rindoe.
Pabila dihati damba memakoe
Kasih tersimpan, Sajang tertjantoem?
Setiap koekenang, semakin koejakin
Biarpoen akoe dipinta pergi,
Akan tibalah masanja pasti
Kau kuadjar melihat dialam Seni
Soepaja kita saling mengerti!
Rosihan Anwar - Djawa Baroe, 15 Januari 1944
Indah sekali. Sebuah puisi yang lahir saat proklamasi belum dikumandangkan. Lebih indah lagi, puisi tersebut dimuat pada Djawa Baroe, yang oleh Nippon dijadikan media propaganda demi memenuhi kepentingannya. Entahlah, mengapa penyair bisa menyelipkan puisinya di Djawa Baroe. Mungkin karena saat itu dia adalah seorang reporter Asia Raya.
Mari kita simak kembali kata-kata yang terpahat begitu kuatnya.
Pabila kukenang keputusan kata
Jangan aku didampingi juga
Lekaslah jauh berangkat pergi
Tiada kita dapat serasi
Dialamku engkau asing, kurasa..
Aku tersenyum, pilu mengerti..
Pada rangkaian kata di atas, dapat kita tangkap adanya ketidaksukaan penyair pada pihak penjajah. Jangan aku didampingi juga, lekaslah jauh berangkat pergi, tiada kita dapat serasi. Diksi yang tepat, setidaknya ini subyektif menurut saya. Penyair tidak ingin kembali ‘ditemani’ seperti ketika Belanda ‘menemani’ rakyat negeri ini.
Biarpun aku dipinta pergi
Akan tibalah masanya pasti
Kau kuajar melihat dialam seni
Supaya kita saling mengerti!
Terus terang saja, saya jatuh cinta dengan bagian penutup puisi berjudul Djarak Beloem
Bertitian ini. Bagaimana tidak, sang penyair dalam ketidakberdayaan situasi, masih saja sanggup mengancam apa yang diyakininya sebagai musuh. Dan dia memilih seni sebagai senjata.
Hari ini, kita telah sependapat bahwa kebodohan adalah musuh bersama. Banyak orang membicarakan bagaimana pendidikan yang baik. Tak kurang-kurangnya seminar digelar. Tak sedikit acara-acara mentereng yang mengundang orang pintar sebagai pembicara. Sayangnya, hanya segelintir orang yang setia melawan kebodohan dengan bersenjatakan seni.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Rosihan Anwar: Memilih Seni Sebagai Senjata
Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://sastrasurgawi.blogspot.com/2013/05/rosihan-anwar-memilih-seni-sebagai.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Unknown
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment